Hadis Rasulullah SAW ada menyebutkan:
“Kebaikan itu adalah bukan orang yang
mengambil dunia tapi meninggalkan Akhirat dan yang mengambil Akhirat
meninggalkan dunianya.”
Hadis lain menyebut:
“Tidak dianggap orang yang meninggalkan
dunianya karena Akhirat, dan tidak juga orang yang meninggalkan Akhirat
yang karena dunianya sehingga sekaligus mendapatkan kedua-duanya.”
(Riwayat Ibnu Asakir)
Karena ada
Hadis yang menyebutkan seperti itu, maka lumrahlah jika orang berkata
termasuk orang yang cinta dan bergelimang dengan dunia. Bahkan semua
golongan mengatakan tentang ini. Maklumlah manusia mudah cenderung pada
dunia, apa lagi bila ada hujah dan dalilnya, jadi ada alasan yang mengesahkan mereka untuk memburunya tanpa memikirkan pedoman dan ‘guideline‘nya. Mereka buru dunia semau-maunya. Tidak perduli dengan cara apapun dan bagaimanapun.
Di antara
perkataan yang selalu kita dengar dan baca baik di arena dakwah, di
majelis-majelis ceramah, di arena politik, di dalam majlis-majlis
pengajian, dan juga melalui TV, surat khabar, majalah dan lain-lain,
seperti berikut:
- “Dunia kita kehendaki, Akhirat pun kita kehendaki.”
- “Janganlah tinggalkan dunia karena Akhirat. Begitulah juga jangan
tinggalkan Akhirat karena dunia. Tuhan menyuruh kita mengambil
kedua-duanya sekalian, yaitu dunia dan Akhirat.”
- “Akhirat memanglah kita tidak dapat nafikan, tapi kita tinggal di
dunia sekarang, maka kita juga harus memikirkan tentang dunia.”
- “Akhirat, Akhirat juga, dunia, dunia juga. Jangan lupakan kedua-duanya.”
- “Kalau kita tidak punya harta dunia, Akhirat kita pun tidak sempurna.
- “Habis bagaimana hendak berzakat, kalau kita tidak ada harta?”
- “Kalau kita tidak ada harta, bagaimana hendak naik haji.”
- “Bagaimana hendak membuat kebaikan, kalau tidak ada duit.”
- “Ambillah dunia, tapi jangan sampai lupa Akhirat.”
- “Dia itu asyik ibadah saja, apa yang hendak dimakan anak isterinya?”
- “Ibadah, ibadahlah. Bekerja juga harus untuk mencari rezeki.”
- “Siapa hendak memberi makan anak isteri?”
- “Dia itu mengambil keduanya, dunia dia buru, Akhiratpun juga dia buru.”
- Ada yang berkata lebih hebat lagi dan mengherankan kita, ” Dia itu walaupun penari atau pelacur tapi dia sembahyang.”
Inilah
di antara kata-kata yang kita dengar yang diucapkan oleh orang kampung
sampai dengan orang kota, pendakwah, guru, alim ulama, penceramah,
ahli-ahli politik, ahli-ahli ekonomi, pembesar-pembesar dan lain-lain
lagi. Apabila kita ambil sekalian kedua-duanya, barulah seimbang, kata
mereka.
Bagi orang
yang gila dunia, perkataan-perkataan seperti tadi sudah cukup memuaskan
dan sudah memadailah untuk dijadikan hujah dan dalil untuk memburu dunia
tanpa lagi memikirkan bagaimana caranya, bagaimana syarat-syaratnya,
bagaimana cara mengambil sekalian kedua-duanya.
Bagi mereka
percakapan yang seperti itu sudah dapat memuaskan hati. Tidak ada yang
menyalahkannya. Maka mereka buru dunia dengan tidak berfikir halal dan
haram. Tidak memikirkan mana cara yang benar dan bagaimana cara yang
dibenarkan. Yang penting lakukan apa saja asalkan bisa mendapat
keuntungan.
“Tuhan kan menyuruh kita mencari kekayaan? Asal jangan tinggalkan sembahyang!”
“Bulan puasa, kita puasa.”
“Sampai waktunya nanti, kita naik haji cukuplah.”
Bagi orang
yang ingin mencari kebenaran tapi juga menginginkan kedua-duanya, itu
masih keliru. Ucapan-ucapan itu masih bersifat umum. Mereka masih
bingung karena huraiannya tidak ada. Tidak bisa dengan begitu saja.
Harus ada cara-caranya. Harus ada syarat-syaratnya. Harus ada
panduannya. Akhirat itu Akhirat yang bagaimana? Dunia pun dunia yang
bagaimana. Itulah pendirian orang yang ikhlas yang ingin cari kebenaran.
Mereka tidak menolak pandangan yang berpendapat bahwa dunia Akhirat itu
seharusnya diambil sekalian kedua-duanya. Tapi perbincangan seperti
itu, untuk mereka masih belum bisa untuk dijadikan tindakan. Takutnya
nanti jatuh ke dalam kesalahan. Mereka mau ada penjelasan. Mereka mau
ada panduan. Mereka memerlukan uraian/penjabaran yang jelas Jika
mengambil keduanya secara melulu (terburu-buru/gegabah), itu
bukan ajaran Islam. Islam mempunyai peraturan mengenai kedua-duanya.
Islam adalah ajaran yang indah, selamat menyelamatkan. Kalau mengambil
kedua-duanya harus ada caranya. Bila dalam melaksanakannya menyenangkan.
Tidak ada was-was lagi. Kalau kita ingin menganalisa dan membaca
keinginan-keinginan mereka yang tersirat dari hasil percakapan mereka
seolah-olah mereka mengambil dunia atau Akhirat itu, yaitu mengambil
kedua-duanya sekaligus ialah:
“Kita cari dunia sebanyak-banyaknya, tidak usah fikir
halal dan haram. Tidak usah fikir bagaimana caranya. Lakukanlah apa saja
dan buatlah cara apapun asalkan bisa mendapat keuntungan. Tapi jangan
tinggal sembahyang, puasa, zakat, naik haji bila mampu. Itulah yang
dimaksudkan dengan kehendak Hadist itu. Yaitu dunia harus dibuat,
Akhirat pun mesti dibuat. Kita cari dunia tapi agama jangan
ditinggalkan. Carilah kekayaan, buatlah kemajuan. Buatlah pembangunan
tapi jangan tinggal sembahyang dan yang lain-lain seperti yang telah
disebutkan tadi.”
Kalau kita
terima begitu saja pandangan mereka itu, itu sangat berbahaya. Dia
keliru dan mngelirukan. Nanti kita akan terjatuh ke lembah kesesatan.
Memang kita disuruh mengimbangkan di antara dunia dan Akhirat. Atau kita
memang menerima bahkan wajib menerima bahwa dunia dan Akhirat itu harus
seimbang, atau agama dan dunia mesti seimbang. Kalau tidak seimbang di
antara dunia dan Akhirat atau agama dan dunia, berarti kita akan
terjebak kepada kesalahan dan kehilafan yang besar. Pada waktu itu agama
akan rusak, dunia juga akan rusak. Kalau dunia akan rusak, Akhirat
lebih-lebih lagi akan rusak. Oleh sebab itu keseimbangan di antara
kedua-duanya amat diperlukan sekali.
Contohnya pada
badan manusia saja , kalau keperluan makan minum tidak seimbang, yaitu
jenis-jenis apa saja yang dimakan untuk keperluan dan kesehatan tubuh
dan badannya, niscaya badan tidak akan sehat. Dia akan menjadi masalah
pada badan. Badan akan berpenyakit. Mungkin bermacam-macam penyakit akan
menyerangnya.Begitu jugalah keseimbangan di antara dunia dengan Akhirat
atau di antara agama dengan dunia harus ada. Kalau tidak, pasti akan
terjadi kerusakan.
Kalau
tidak terjadi pada kedua-duanya sekalian, maka akan terjadi salah
satunya. Oleh sebab itu keseimbangan itu perlu diperjuangkan di antara
dunia dan Akhirat agar dunia selamat, Akhirat pun selamat.
Memang agama
Islam itu, kalau dapat difahami dan mampu mengamalkannya, dia akan
membawa pada keselamatan dunia dan Akhirat. Di sinilah keistimewaan
ajaran Islam yang tidak ada pada agama lain.
Apabila kita
telah dapat menerima bahawa dunia Akhirat mesti seimbang atau agama dan
dunia itu mesti seimbang, bagaimana hendak mengimbangkannya? Apa maksud
dari seimbang di antara dunia dan Akhirat? Apakah maksud seimbang di
sini? Kalau menurut ukuran bilangan, kalau satu sama-sama satu. Kalau
dua, sama-sama dua. Atau kalau ia jenis yang dapat diukur untuk dibagi
seimbang, kalau satu kaki itu hendaknya kita bagi sama-sama enam inci.
Atau kalau dua orang yang berkongsi dagang, mereka mengeluarkan modal
yang sama banyaknya, kemudian apabila mendapat untung dua ratus rupiah,
maka hendaknya setiap orang mendapat seratus rupiah? Atau kalau barang
yang akan ditimbang yang beratnya satu kg maka batu timbangannya harus
satu kg juga beratnya. Barulah ia seimbang. Ya! Kalau terjadi kepada
benda sama benda. Jenisnya sama seperti yang disebutkan di atas tadi,
yang sama jenis maka kita bisa dan dapat menerimanya.
Kalau ukuran
panjang, akan di bagi, maka haruslah sama panjangnya. Jangan sampai ada
yang lebih, ada yang kurang. Dia jadi tidak seimbang. Kalau jenis
timbangannya sama beratny, Begitulah seterusnya.
Kemudian, apakah yang dimaksud dengan seimbang di antara dunia dan
Akhirat, atau di antara agama dengan dunia itu seperti ukuran
benda-benda tadi? Kalau kita kata ya, tanggapan itu adalah satu
kesalahan atau kehilafan, karena kedua persoalan yang hendak
diseimbangkan ini tidak sama sifatnya. Dunia adalah alam syahadah atau
alam benda atau alam fisik. Sedangkan Akhirat adalah alam ghaib yang
waktunya tidak terbatas. Alam
syahadah yaitu dunia ini waktunya terbatas atau ada keakhirnya.
Agama, ia
bersifat maknawiyah dan rohaniah sedangkan dunia bersifat maddiah yaitu
fisikal dan material. Maknawiah dan rohaniah dapat ditangkap dan
dirasakan oleh akal dan jiwa atau roh, sedangkan dunia yang bersifat
maddiah itu dapat dirasa oleh mata dan sentuhan lahir. Dia bersifat hissiah,
dan kalau begitu kedudukannya, kedua-duanya tidak sama. Satu bersifat
material atau maddiah dan yang satu lagi bersifat maknawiah dan
rohaniah. Dua perkara ( persoalan) yang tidak sama ini akan
diseimbangkan, mana yang dapat digunakan dengan mengikut hukum logik
atau mana yang dapat diukur menggunakan teori ilmu akal atau ilmu
mantik. Kalau kita lakukan juga, ini sangat tidak tepat. Dia merupakan
satu kesalahan yang besar. Satu kesilapan yang akan berakibat pada
kerusakan yang besar sekali. Dia akan merusakkan peranan agama itu
sendiri.
Oleh sebab itu
kalau hendak mengimbangkan di antara dunia dengan Akhirat atau di
antara agama dengan dunia, harus berhati-hati. Pada dunia ada campur
tangan manusia, tapi agama, manusia tidak dapat campur tangan langsung.
Dia adalah hak mutlak Allah Taala. Oleh sebab itu sekali lagi saya
katakan berhati-hatilah.
Karena
demikian itu maka disini apakah yang dimaksud dengan seimbang ? Dan
bagaimana hendak menyeimbangkannya di antara dua persoalan yang
berlainan sifatnya itu? Adakah ia berbeda di antara satu sama lain? Atau
satu sama lain itu terserap menjadi satu? Kalau kedua-duanya bersifat
material atau fisikal tentu dapat dilihat. Tapi satu bersifat material,
kelihatan dan bisa dirasakan dan satu lagi bersifat maknawiah dan
rohaniah, tidak kelihatan oleh mata dan tidak dapat dirasa oleh sentuhan
karena dia bukan bersifat hissiah. Kalau kelihatan atau dapat dilihat
maka mudah dan suka untuk menyukat (membedakan) sejauh mana yang
dikatakan seimbang itu.
Pada pandangan dan pendapat saya, arti seimbang di antara dunia dan
Akhirat atau di antara agama dengan dunia itu ialah, setiap usaha atau
perjuangan yang akan dibangun baik bersifat material maupun fisikal,
seperti bidang pembangunan, ekonomi, kebudayaan, militer, pertanian,
perhubungan dan lain-lain lagi, hendaklah Islam sebagai panduan
pendisiplinnya atau dia tidak bisa lari dari keterikatannya dengan
tauhid dan syariat Islam atau Islam menjadi penyelarasnya.
Sebagai contoh:
Pertama: Niat.
Niat membangun projek atau tujuan projek itu dibuat hendaklah karena
Allah Taala, yang mana Allah Taala menyuruh membuat untuk kepemimpinan
manusia.
Kedua:
Persoalan yang hendak dilakukan itu memang dibenarkan atau diwajibkan
oleh Islam seperti membuat jalan raya atau bangunan kantor . Bukan
bangunan tempat judi atau tempat arak atau diskotik tempat bergaul bebas
antara laki-laki dan perempuan.
Ketiga:
Pelaksanaannya harus betul. Seperti duitnya dari hasil yang halal, tidak
boleh terjadi korupsi di situ atau bahan-bahannya harus dari yang
halal.
Keempat:
Membangun projek itu jangan sampai meninggalkan ibadah yang asas yaitu
jangan sampai tertinggal atau mengabaikan Rukun Islam yang lima.
Terutama sholat lima waktu. Artinya janganlah karena membangun, sampai
meninggalkan sholat.
Kelima:
Dipergunakan secara betul seperti digunakan untuk kantor, tempat sholat,
tempat pendidikan, tempat pertemuan, benteng pertahanan, untuk menerima
tamu, tempat perdangan dan lain-lain yang jelas tidak bertentangan
dengan Islam.
Lima syarat
tadi itulah agamanya atau Islamnya atau Akhiratnya. Dia telah menjadi
pendisiplin di dalam membangun dunia tadi, yaitu projek itu. Maka pada
dunia tadi ada Akhiratnya, yaitu lima syarat itu. Dunia tadi telah
‘beragama’ atau dengan kata-kata lain projek-projek dunia tadi telah
jadi Islam atau telah di-Islamkan, karena projek yang bersifat dunia itu
telah memenuhi syarat-syarat yang Islam kehendaki.
Kalau begitulah keadaannya, projek-projek tadi telah menjadi dunia dan Akhirat. Itulah juga agama, dan itu juga dunia.Yang
berusaha membangun projek itu mendapat dua keuntungan, yaitu keuntungan
dunia dan keuntungan Akhirat. Dunia pun menjadi maju, karena projek
tadi dapat dimanfaatkan di dunia. Dan dapat keuntungan Akhirat, karena
mengikut lima syarat itu diberi pahala di Akhirat dengan Syurga, yaitu
untung yang maha besar lagi kekal abadi.
Jadi
seandainya kita faham ajaran Islam dan tidak buruk sangka dengannya dan
mau bersungguh-sungguh mengamalkannya dan kita jadikan Islam sebagai
pengawal, maka apa lagi yang hendak ditakutkan dengan Islam.
“Nanti kalau ikut Islam mundur, kita akan ketinggalan, kita tidak maju.”
Fikiran seperti ini seharusnya tidak timbul, kalau kita mengikut ajaran
Islam, dunia yang kita bangun itu benda juga. Itul juga yang hendak
jadi dunia sahajakah, atau itu jugalah yang hendak jadi kedua-duanya
sekaligus yaitu dunia dan Akhirat, atau agama dan dunia.
Apabila lima syarat tadi jadi pendisiplin, maka usaha kita itu walau di
bidang yang manapun ia menjadi dunia Akhirat, atau agama dan dunia.
Bukan terpisah. Bukan terasing seperti yang banyak difaham oleh umat
Islam selama ini, maka seimbanglah sudah di antara dunia dan Akhirat
atau agama dengan dunia.
Jika
sekiranya lima syarat tadi tidak diperdulikan, usaha kita itu jadi
dunia semata-mata. Kalau pun tidak ada unsur- unsur yang menyebabkan
kita berdosa tapi sayang dan rugilah usaha kita itu tidak mendapat
pahala apa-apa. Hanya mendapat untung di dunia saja. Tidak sampai
mendapat keuntungan di Akhirat. Maka tidak seimbanglah usaha kita itu.
Hanya jadi dunia semata, tidak mendapatakan Akhirat.
Oleh karena
demikian maka timbul, ambil dunia tinggal akhirat, ambil Akhirat,
tinggal dunia. Sedangkan persoalannya satu, kecuali ibadah asas. Apa
yang saya katakan itu cukuplah saya datangkan satu contoh. Kalau kita
faham, kiaskanlah saja usaha-usaha dan perjuangan kita itu di
aspek-aspek yang lain.