Thursday, June 4, 2020

Bagaimana Menjadikan Kehidupan Dunia Bernilai Akhirat




Hadis Rasulullah SAW ada menyebutkan:
“Kebaikan itu adalah bukan orang yang mengambil dunia tapi meninggalkan Akhirat dan yang mengambil Akhirat meninggalkan dunianya.”
Hadis lain menyebut:
“Tidak dianggap orang yang meninggalkan dunianya karena Akhirat, dan tidak juga orang yang meninggalkan Akhirat yang karena dunianya sehingga sekaligus mendapatkan kedua-duanya.” (Riwayat Ibnu Asakir)

Karena ada Hadis yang menyebutkan seperti itu, maka lumrahlah jika orang berkata termasuk orang yang cinta dan bergelimang dengan dunia. Bahkan semua golongan mengatakan tentang ini. Maklumlah manusia mudah cenderung pada dunia, apa lagi bila ada hujah dan dalilnya, jadi ada alasan yang mengesahkan mereka untuk memburunya tanpa memikirkan pedoman dan ‘guideline‘nya. Mereka buru dunia semau-maunya. Tidak perduli dengan cara apapun dan bagaimanapun.
Di antara perkataan yang selalu kita dengar dan baca baik di arena dakwah, di majelis-majelis ceramah, di arena politik, di dalam majlis-majlis pengajian, dan juga melalui TV, surat khabar, majalah dan lain-lain, seperti berikut:
  • “Dunia kita kehendaki, Akhirat pun kita kehendaki.”
  • “Janganlah tinggalkan dunia karena Akhirat. Begitulah juga jangan tinggalkan Akhirat karena dunia. Tuhan menyuruh kita mengambil kedua-duanya sekalian, yaitu dunia dan Akhirat.”
  • “Akhirat memanglah kita tidak dapat nafikan, tapi kita tinggal di dunia sekarang, maka kita juga harus memikirkan tentang dunia.”
  • “Akhirat, Akhirat juga, dunia, dunia juga. Jangan lupakan kedua-duanya.”
  • “Kalau kita tidak punya harta dunia, Akhirat kita pun tidak sempurna.
  • “Habis bagaimana hendak berzakat, kalau kita tidak ada harta?”
  • “Kalau kita tidak ada harta, bagaimana hendak naik haji.”
  • “Bagaimana hendak membuat kebaikan, kalau tidak ada duit.”
  • “Ambillah dunia, tapi jangan sampai lupa Akhirat.”
  • “Dia itu asyik ibadah saja, apa yang hendak dimakan anak isterinya?”
  • “Ibadah, ibadahlah. Bekerja juga harus untuk mencari rezeki.”
  • “Siapa hendak memberi makan anak isteri?”
  • “Dia itu mengambil keduanya, dunia dia buru, Akhiratpun juga dia buru.”
  • Ada yang berkata lebih hebat lagi dan mengherankan kita, ” Dia itu walaupun penari atau pelacur tapi dia sembahyang.”
Inilah di antara kata-kata yang kita dengar yang diucapkan oleh orang kampung sampai dengan orang kota, pendakwah, guru, alim ulama, penceramah, ahli-ahli politik, ahli-ahli ekonomi, pembesar-pembesar dan lain-lain lagi. Apabila kita ambil sekalian kedua-duanya, barulah seimbang, kata mereka.
Bagi orang yang gila dunia, perkataan-perkataan seperti tadi sudah cukup memuaskan dan sudah memadailah untuk dijadikan hujah dan dalil untuk memburu dunia tanpa lagi memikirkan bagaimana caranya, bagaimana syarat-syaratnya, bagaimana cara mengambil sekalian kedua-duanya.
Bagi mereka percakapan yang seperti itu sudah dapat memuaskan hati. Tidak ada yang menyalahkannya. Maka mereka buru dunia dengan tidak berfikir halal dan haram. Tidak memikirkan mana cara yang benar dan bagaimana cara yang dibenarkan. Yang penting lakukan apa saja asalkan bisa mendapat keuntungan.
“Tuhan kan menyuruh kita mencari kekayaan? Asal jangan tinggalkan sembahyang!”
“Bulan puasa, kita puasa.”
“Sampai waktunya nanti, kita naik haji cukuplah.”
Bagi orang yang ingin mencari kebenaran tapi juga menginginkan kedua-duanya, itu masih keliru. Ucapan-ucapan itu masih bersifat umum. Mereka masih bingung karena huraiannya tidak ada. Tidak bisa dengan begitu saja. Harus ada cara-caranya. Harus ada syarat-syaratnya. Harus ada panduannya. Akhirat itu Akhirat yang bagaimana? Dunia pun dunia yang bagaimana. Itulah pendirian orang yang ikhlas yang ingin cari kebenaran. Mereka tidak menolak pandangan yang berpendapat bahwa dunia Akhirat itu seharusnya diambil sekalian kedua-duanya. Tapi perbincangan seperti itu, untuk mereka masih belum bisa untuk dijadikan tindakan. Takutnya nanti jatuh ke dalam kesalahan. Mereka mau ada penjelasan. Mereka mau ada panduan. Mereka memerlukan uraian/penjabaran yang jelas Jika mengambil keduanya secara melulu (terburu-buru/gegabah), itu bukan ajaran Islam. Islam mempunyai peraturan mengenai kedua-duanya. Islam adalah ajaran yang indah, selamat menyelamatkan. Kalau mengambil kedua-duanya harus ada caranya. Bila dalam melaksanakannya menyenangkan. Tidak ada was-was lagi. Kalau kita ingin menganalisa dan membaca keinginan-keinginan mereka yang tersirat dari hasil percakapan mereka seolah-olah mereka mengambil dunia atau Akhirat itu, yaitu mengambil kedua-duanya sekaligus ialah:
“Kita cari dunia sebanyak-banyaknya, tidak usah fikir halal dan haram. Tidak usah fikir bagaimana caranya. Lakukanlah apa saja dan buatlah cara apapun asalkan bisa mendapat keuntungan. Tapi jangan tinggal sembahyang, puasa, zakat, naik haji bila mampu. Itulah yang dimaksudkan dengan kehendak Hadist itu. Yaitu dunia harus dibuat, Akhirat pun mesti dibuat. Kita cari dunia tapi agama jangan ditinggalkan. Carilah kekayaan, buatlah kemajuan. Buatlah pembangunan tapi jangan tinggal sembahyang dan yang lain-lain seperti yang telah disebutkan tadi.”
Kalau kita terima begitu saja pandangan mereka itu, itu sangat berbahaya. Dia keliru dan mngelirukan. Nanti kita akan terjatuh ke lembah kesesatan. Memang kita disuruh mengimbangkan di antara dunia dan Akhirat. Atau kita memang menerima bahkan wajib menerima bahwa dunia dan Akhirat itu harus seimbang, atau agama dan dunia mesti seimbang. Kalau tidak seimbang di antara dunia dan Akhirat atau agama dan dunia, berarti kita akan terjebak kepada kesalahan dan kehilafan yang besar. Pada waktu itu agama akan rusak, dunia juga akan rusak. Kalau dunia akan rusak, Akhirat lebih-lebih lagi akan rusak. Oleh sebab itu keseimbangan di antara kedua-duanya amat diperlukan sekali.
Contohnya pada badan manusia saja , kalau keperluan makan minum tidak seimbang, yaitu jenis-jenis apa saja yang dimakan untuk keperluan dan kesehatan tubuh dan badannya, niscaya badan tidak akan sehat. Dia akan menjadi masalah pada badan. Badan akan berpenyakit. Mungkin bermacam-macam penyakit akan menyerangnya.Begitu jugalah keseimbangan di antara dunia dengan Akhirat atau di antara agama dengan dunia harus ada. Kalau tidak, pasti akan terjadi kerusakan.
Kalau tidak terjadi pada kedua-duanya sekalian, maka akan terjadi salah satunya. Oleh sebab itu keseimbangan itu perlu diperjuangkan di antara dunia dan Akhirat agar dunia selamat, Akhirat pun selamat.
Memang agama Islam itu, kalau dapat difahami dan mampu mengamalkannya, dia akan membawa pada keselamatan dunia dan Akhirat. Di sinilah keistimewaan ajaran Islam yang tidak ada pada agama lain.
Apabila kita telah dapat menerima bahawa dunia Akhirat mesti seimbang atau agama dan dunia itu mesti seimbang, bagaimana hendak mengimbangkannya? Apa maksud dari seimbang di antara dunia dan Akhirat? Apakah maksud seimbang di sini? Kalau menurut ukuran bilangan, kalau satu sama-sama satu. Kalau dua, sama-sama dua. Atau kalau ia jenis yang dapat diukur untuk dibagi seimbang, kalau satu kaki itu hendaknya kita bagi sama-sama enam inci. Atau kalau dua orang yang berkongsi dagang, mereka mengeluarkan modal yang sama banyaknya, kemudian apabila mendapat untung dua ratus rupiah, maka hendaknya setiap orang mendapat seratus rupiah? Atau kalau barang yang akan ditimbang yang beratnya satu kg maka batu timbangannya harus satu kg juga beratnya. Barulah ia seimbang. Ya! Kalau terjadi kepada benda sama benda. Jenisnya sama seperti yang disebutkan di atas tadi, yang sama jenis maka kita bisa dan dapat menerimanya.
Kalau ukuran panjang, akan di bagi, maka haruslah sama panjangnya. Jangan sampai ada yang lebih, ada yang kurang. Dia jadi tidak seimbang. Kalau jenis timbangannya sama beratny, Begitulah seterusnya.
Kemudian, apakah yang dimaksud dengan seimbang di antara dunia dan Akhirat, atau di antara agama dengan dunia itu seperti ukuran benda-benda tadi? Kalau kita kata ya, tanggapan itu adalah satu kesalahan atau kehilafan, karena kedua persoalan yang hendak diseimbangkan ini tidak sama sifatnya. Dunia adalah alam syahadah atau alam benda atau alam fisik. Sedangkan Akhirat adalah alam ghaib yang waktunya tidak terbatas. Alam
syahadah yaitu dunia ini waktunya terbatas atau ada keakhirnya.
Agama, ia bersifat maknawiyah dan rohaniah sedangkan dunia bersifat maddiah yaitu fisikal dan material. Maknawiah dan rohaniah dapat ditangkap dan dirasakan oleh akal dan jiwa atau roh, sedangkan dunia yang bersifat maddiah itu dapat dirasa oleh mata dan sentuhan lahir. Dia bersifat hissiah, dan kalau begitu kedudukannya, kedua-duanya tidak sama. Satu bersifat material atau maddiah dan yang satu lagi bersifat maknawiah dan rohaniah. Dua perkara ( persoalan) yang tidak sama ini akan diseimbangkan, mana yang dapat digunakan dengan mengikut hukum logik atau mana yang dapat diukur menggunakan teori ilmu akal atau ilmu mantik. Kalau kita lakukan juga, ini sangat tidak tepat. Dia merupakan satu kesalahan yang besar. Satu kesilapan yang akan berakibat pada kerusakan yang besar sekali. Dia akan merusakkan peranan agama itu sendiri.
Oleh sebab itu kalau hendak mengimbangkan di antara dunia dengan Akhirat atau di antara agama dengan dunia, harus berhati-hati. Pada dunia ada campur tangan manusia, tapi agama, manusia tidak dapat campur tangan langsung. Dia adalah hak mutlak Allah Taala. Oleh sebab itu sekali lagi saya katakan berhati-hatilah.
Karena demikian itu maka disini apakah yang dimaksud dengan seimbang ? Dan bagaimana hendak menyeimbangkannya di antara dua persoalan yang berlainan sifatnya itu? Adakah ia berbeda di antara satu sama lain? Atau satu sama lain itu terserap menjadi satu? Kalau kedua-duanya bersifat material atau fisikal tentu dapat dilihat. Tapi satu bersifat material, kelihatan dan bisa dirasakan dan satu lagi bersifat maknawiah dan rohaniah, tidak kelihatan oleh mata dan tidak dapat dirasa oleh sentuhan karena dia bukan bersifat hissiah. Kalau kelihatan atau dapat dilihat maka mudah dan suka untuk menyukat (membedakan) sejauh mana yang dikatakan seimbang itu.
Pada pandangan dan pendapat saya, arti seimbang di antara dunia dan Akhirat atau di antara agama dengan dunia itu ialah, setiap usaha atau perjuangan yang akan dibangun baik bersifat material maupun fisikal, seperti bidang pembangunan, ekonomi, kebudayaan, militer, pertanian, perhubungan dan lain-lain lagi, hendaklah Islam sebagai panduan pendisiplinnya atau dia tidak bisa lari dari keterikatannya dengan tauhid dan syariat Islam atau Islam menjadi penyelarasnya.
Sebagai contoh:
Pertama: Niat.
Niat membangun projek atau tujuan projek itu dibuat hendaklah karena Allah Taala, yang mana Allah Taala menyuruh membuat untuk kepemimpinan manusia.
Kedua:
Persoalan yang hendak dilakukan itu memang dibenarkan atau diwajibkan oleh Islam seperti membuat jalan raya atau bangunan kantor . Bukan bangunan tempat judi atau tempat arak atau diskotik tempat bergaul bebas antara laki-laki dan perempuan.
Ketiga:
Pelaksanaannya harus betul. Seperti duitnya dari hasil yang halal, tidak boleh terjadi korupsi di situ atau bahan-bahannya harus dari yang halal.
Keempat:
Membangun projek itu jangan sampai meninggalkan ibadah yang asas yaitu jangan sampai tertinggal atau mengabaikan Rukun Islam yang lima. Terutama sholat lima waktu. Artinya janganlah karena membangun, sampai meninggalkan sholat.
Kelima:
Dipergunakan secara betul seperti digunakan untuk kantor, tempat sholat, tempat pendidikan, tempat pertemuan, benteng pertahanan, untuk menerima tamu, tempat perdangan dan lain-lain yang jelas tidak bertentangan dengan Islam.
Lima syarat tadi itulah agamanya atau Islamnya atau Akhiratnya. Dia telah menjadi pendisiplin di dalam membangun dunia tadi, yaitu projek itu. Maka pada dunia tadi ada Akhiratnya, yaitu lima syarat itu. Dunia tadi telah ‘beragama’ atau dengan kata-kata lain projek-projek dunia tadi telah jadi Islam atau telah di-Islamkan, karena projek yang bersifat dunia itu telah memenuhi syarat-syarat yang Islam kehendaki.
Kalau begitulah keadaannya, projek-projek tadi telah menjadi dunia dan Akhirat. Itulah juga agama, dan itu juga dunia.Yang berusaha membangun projek itu mendapat dua keuntungan, yaitu keuntungan dunia dan keuntungan Akhirat. Dunia pun menjadi maju, karena projek tadi dapat dimanfaatkan di dunia. Dan dapat keuntungan Akhirat, karena mengikut lima syarat itu diberi pahala di Akhirat dengan Syurga, yaitu untung yang maha besar lagi kekal abadi.
Jadi seandainya kita faham ajaran Islam dan tidak buruk sangka dengannya dan mau bersungguh-sungguh mengamalkannya dan kita jadikan Islam sebagai pengawal, maka apa lagi yang hendak ditakutkan dengan Islam.
“Nanti kalau ikut Islam mundur, kita akan ketinggalan, kita tidak maju.” Fikiran seperti ini seharusnya tidak timbul, kalau kita mengikut ajaran Islam, dunia yang kita bangun itu benda juga. Itul juga yang hendak jadi dunia sahajakah, atau itu jugalah yang hendak jadi kedua-duanya sekaligus yaitu dunia dan Akhirat, atau agama dan dunia.
Apabila lima syarat tadi jadi pendisiplin, maka usaha kita itu walau di bidang yang manapun ia menjadi dunia Akhirat, atau agama dan dunia. Bukan terpisah. Bukan terasing seperti yang banyak difaham oleh umat Islam selama ini, maka seimbanglah sudah di antara dunia dan Akhirat atau agama dengan dunia.
Jika sekiranya lima syarat tadi tidak diperdulikan, usaha kita itu jadi dunia semata-mata. Kalau pun tidak ada unsur- unsur yang menyebabkan kita berdosa tapi sayang dan rugilah usaha kita itu tidak mendapat pahala apa-apa. Hanya mendapat untung di dunia saja. Tidak sampai mendapat keuntungan di Akhirat. Maka tidak seimbanglah usaha kita itu. Hanya jadi dunia semata, tidak mendapatakan Akhirat.
Oleh karena demikian maka timbul, ambil dunia tinggal akhirat, ambil Akhirat, tinggal dunia. Sedangkan persoalannya satu, kecuali ibadah asas. Apa yang saya katakan itu cukuplah saya datangkan satu contoh. Kalau kita faham, kiaskanlah saja usaha-usaha dan perjuangan kita itu di aspek-aspek yang lain.
Previous Post
Next Post

0 comments: